Selasa, 23 Juli 2013

Alam Takambang Jadi Guru(Terkembang Jadi Guru)

1. Manusia dan Individu
“Alam terkembang jadi guru”, demikian falsafah yang dianut oleh suatu etnis dari beberapa etnis besar yang ada di Indonesia. Falsafah ini “unique”, karena sebagai panutan dan pelajaran hidup manusia dan individu, memetik dari suatu kejadian, peristiwa dan proses alam. Manusia adalah subyek hukum yang memiliki fungsi dan peran yang berbeda menurut kodrat dan dan harkat yang diberikan alam kepadanya. Secara sosio psikologi, kemampuan munusia dalam berbuat sesuatu tidaklah sama. Seperti halnya contoh yang diberikan alam, ada bermacam-macam buah yang berbeda bentuk dan rasanya. Begitu pula bagi makhluk hewan, ada yang jinak dan ada yang buas.


Secara berkelompok atau sendiri-sendiri, manusia memerlukan sandang, pangan dan papan untuk memenuhi kebutuhan lahir dan bathin. Bagi manusia pembedaan pandangan terhadap setiap individu, ditentukan oleh prestasi dalam berusaha dan berikhtiar, agar ia menjadi mulia, ternama, pintar dan kaya. Namun dari sisi budi daya, setiap manusia atau orang dipandang dalam status yang sama. Dalam falsafah berguru kepada alam, maka setiap manusia menempati posisi tegak sama tinggi dan duduk sama rendah, begitu kata petuah mereka. Lebih lanjut petuah itu memberi arahan kepada individu,bahwa sebagai makhluk sosial agar masing-masing individu dapat mencapai kemuliaan dengan petuah yang terurai sebagai berikut :
“ Jika hendak mulia – harus suka memberi, jika ingin ternama (terkenal) dirikan kemenangan, jika mau pandai rajin berguru, jika ingin kaya harus kuat berusaha.”
Bila kita kembalikan kepada falsafah alam, apakah pencapaian prestasi ini semata-mata usaha dan upaya manusia ? Contoh yang diberikan, menunjukkan dari pohon yang jenisnya sama akan dihasilkan buah yang sama. Namun ternyata kualitas yang dihasilkan tidak selalu sama. Mengapa ? Karena dibutuhkan pupuk dan cara pengolahannya. Demikian pula dengan manusia yang menjadi “besar” karena “dibesarkan”. Maksudnya seseorang yang mencapai prestasi karena dibantu dan ditopang orang lain.
Menurut strukturnya, seseorang adalah individu. Semua individu adalah anggota masyarakat etnis dan lingkungan sosial. Setiap individu pada masyarakat yang komunal seperti di Ranah Minang, misalnya, maka setiap individu adalah milik masyarakatnya dan masyarakat itu adalah milik bersama bagi setiap individu. Oleh karena saling memiliki, maka kedua belah pihak tidak dapat saling menguasai. Hal ini dapat ditunjukkan pada pemilikan harta yang berada dalam aturan dan ketentuan yang unik. Untuk menghindari disharmoni yang tidak sesuai dengan ajaran alam, maka secara unik dibentuk sistem kekerabatan dan ekonomi komunal berdasarkan paham etnis yang menganut stelsel matrilinial serta sistem perkawinan antar etnis dengan cara eksogami.

2. Harga Diri – pada Individu yang berguru kepada Alam :
Sifat ego manusia timbul manakala meletakkan seseorang, agar menjadi berarti dan penting atau setidak-tidaknya sama dengan orang lain, ketika timbul amanat agar hidup bersaing terus menerus dalam mencapai kemuliaan, kepintaran, dan kekayaan seperti yang dimiliki oleh orang lain. Petua alam itu menyatakan :
“Ingin mulia bertabur urai. Ingin ternama dirikan kemenangan. Ingin pintar rajin berguru. Ingin kaya kuat berusaha.”
Akibatnya nilai yang dicapai pada persaingan itu adalah melawan dunia orang. Yaitu bila orang mampu tentu kita mampu pula. Sebaliknya bila kita mampu tentu orang lain mampu pula. Melawan dunia orang – adalah suatu sikap yang menanamkan bawa persaingan hidup itu penting, akan tetapi banyak petuah yang mengingatka agar setiap individu menjaga keseimbangan yaitu ; kurang adalah ke sia-sian dan berlebih adalah kegialaan. Artinya kesia-siaan bila merasa kurang dari orang lain. Ini yang disebut rendah diri. Akan tetapi juga adalah suatu kegilaan bila menganggap diri lebih dari orang lain. Sebab manusia mempunyai keterbatasan, yaitu

Bila menjangkau hanya serentang tangan,
Memikul sekuat badan,
Melompat seayun langkah,
Berkata sepanjang akal

Maksudnya; dalam hidup persaingan diperlukan pengetahuan atas kemampuan diri, yang lazim disebut “tahu diri” (mawas diri).
Oleh karena itu ada petuah memberi peringatan : “yang besar jangan melanda, yang maksudnya mentang-mentang orang besar atau kuat jangan meremehkan orang yang kecil dan lemah, karena orang kecil itupun tahu harga dirinya.
Jadi harga diri pada setiap individu yang berguru kepada alam adalah sifat individu yang senantiasa menjaga keserasian antara keinginan (ego) dan kedudukannya serta mengukur antara kemampuan yang dimiliki dengan keinginan melakukan persaingan dengan pihak lain.

3. Malu yang tidak dapat dibagi :
Apabila merasa tidak percaya percaya diri berarti merasa diri kurang berharga dan ini merupakan kesia-siaan. Sedangkan terlalu percaya diri berarti merasa diri lebih berharga dan ini merupakan kegilaan. Harga diri pada setiap individu yang berguru kepada alam adalah sifat individu yang senantiasa menjaga keserasian antara keinginan (ego) dan kedudukannya serta mengukur antara kemampuan yang dimiliki dengan keinginan melakukan persaingan dengan pihak lain.
Bagaimana bila harga diri yang telah dimiliki ini menjadi jatuh ?, yaitu meletakkan harga diri lebih rendah dari pada orang lain. Tingkah laku ini, merupakan sesuatu yang memalukan dan aib menurut ukuran moral dan etika. Keaiban tidak bisa dimaafkan. Tidak dapat dibayar dan tidak dapat dibagi-bagi.
Ukuran manakan yang menyatakan malu yang tidak dapat dibagi itu ?, yaitu mengemis dan menjadi budak, berbuat kriminal dan melacur yang sama dengan menjual diri. Rasa malu ini akan melibatkan seluruh kerabat dan lingkungan masyarakat. Untuk menutup rasa malu dan menjaga harga diri, maka setiap individu diajarkan agar mampu memikul resiko dan konsekwensinya. Begitu pula pada masyarakat komunal yang disebut „Kaum“, agar harga dri tidak jatuh dan malu tidak dapat dibagi, maka menguapayakan agar dapat ditebus dengan apa saja. Sebagaimana pepatah yang menyatakan : „ Jika tidak air talang yang dipancung, tak ada kayu jenjang yang dikeping, tak emas bungkahan yang diasah“. Pepatah ini dapat diartikan secara harfiah atau secara kiasan.
Apabila mengalami harga diri yang dijatuhkan serta malu yang tidak dapat dibagi dengan cara penghinaan, maka beberapa pepatah menunjukkan bahwa setiap individu dapat melakukanlah pembalasan sebagai pepatah yang menyatakan „ musuh tidak perlu dicari, bertemu pantang dielakkan, terbujur lalu, terlintang patah.
Maksudnya kalau tidak mampu membalas biasa maka balasnya dengan cara yang tidak biasa. Caranya ? Mancido ( mencederai lawan), yaitu memukul dari belakang dengan menggunakan alat keras tanpa diketahui orang lain. Akan tetapi hal ini bertolak belakang dengan ajaran alam terkembang jadi guru.
Oleh karena itu gunakanlah ilmu dan akalmu, daripada berbuat kriminal. Hidup berakal, mati beriman, hingga mencapai tingkat kesabaran yang tinggi. Ilmu yang tinggi adalah sabar dan ilmu yang paling rendah adalah emosi.

4. Awak Sama Awak :
Tidak ada kehidupan didunia ini yang tidak berkelompok, sebagaimana yang tampak pada makhluk hidup di alam raya. Perhatikan semut beriringan, burung berterbangan dan ikan-ikan berenang, bahkan binatang buas seperti harimau sekalipun akan membentuk kelompoknya. Dengan berguru kepada alam inilah, setiap individu membentuk kelompok sosial maupun dalam usaha.
Awak artinya sama dengan anggota atau kita. Awak dapat digunakan sebagai kata ganti orang pertama, orang kedua dan orang ketiga tunggal atau jamak dan lazim diikuti kata ganti personalnya, yaitu awak (den), awak (ang), awak (kau), awak (nyo). Setelah dikaitkan dengan personalnya, maka asal awak dilukiskan seperti setetes air akan menjadi air beriak, riaknya itu menumbuhkan lingkaran-lingkaran yang kian meluas. Lingkaran itu berbaur dengan lingkaran lain yang dimulai dari asal tetesan air itu.
Tiap individu hingga menjadi kelompok menamakan dirinya awak. Segalanya bermula dari awak, oleh awak, untuk awak, demi awak. Pola ini melahirkan istilah awak sama awak dalam lingkaran komunitas yang menuntut kebersamaan dan menyelesaikan setiap kesulitan. Setiap kesulitan , kepentingan, kejayaan individu, kerabat, kaum, suku kampung, nagari bahkan sealam Minang kabau merupakan kesulitan, kepentingan, kejayaan individu , kerabat, kaum, suku kampung, nagari « awak ».

5. Rasa dan Periksa :
Setelah mengukur ego dengan melawan dunia orang (harga diri), maka individu diharuskan menjaga keseimbangan yang harmonis dengan memakai ukuran, yang disebut rasa dan periksa. Artinya rasa berdasarkan ukuran perasaan yang sama, sedangkan periksa adalah ukuran pemeriksaan yang senilai.
Rasa dapat diukur ketika rasa sakit dan rasa senang. Rasa sakit dapat kita ukur apabila kita kita sakit dicubit – maka orang lain pun akan sakit. Oleh karena itu janganlah menyakiti orang lain. Pepatah menyebutkan soal ini: sakit bagi kita sakit pula bagi orang lain. Senang dapat diukur dengan pepatah : enak bagi, kita suka bagi orang.
Periksa akan memakai nilai : alur dan patut. Istilah sekarang – rasa dan periksa ini, adalah sesuai dengan sistem dan prosedur !. Bila sepanjang memenuhi sistem dan prosedur, maka pertimbangkan pula rasa kepantasan (kepatutan). Kepatutan ini dipertimbakan lagi dengan hati nurani.
Dalam sistem pemilihan pejabat negara menggunakan Uji kelayakan dan kepatutan (Fit and Proper test) tidak lain untuk menerapkan rasa dan periksa seorang pemimpin , sehingga ia dianggap mempunyai kemampuan bila telah melalui pengujian ini.
Bila seandainya raso jo pareso itu, tidak mungkin dilaksanakan, maka dapat memakai cara lain. Pepatah mengungkapkan ;“kita mendapat, orang tidak kehilangan“. Artinya, kita dapat berbuat sesuatu yang kita ingini, tetapi orang lain tidak merasa dirugikan. Tindakan ini bersifat pasif dibanding „ Rasa dan Periksa“ . Apakah itu ? ialah „tenggang rasa“.

6. Kesamaan dan Kebersamaan :
Manusia dan individu membetuk masyarakat komunal, namun demikian tetap mempertahankan eksistensi pribadi dalam kelompoknya. Kesamaan antara kaum laki dan kaum wanita menurut falsafah alam ditunjukkan bahwa : Laki-laki memiliki kekuatan dan kekeuasaan, akan tetapi kaum laki-laki tidak mempunyai hak atas harta dan keturunan.Eksistensi pribadi akan terlihat masyarakat hidup berkampung-kampung dan bernagari-nagari, akan tetapi sebagai manusia dan inividu mereka hidup dalam bersuku-suku.
Manusia dan individu hidup dalam „ rumah gadang“, namun dalam kehidupan rumah gadang terdapat tata cara yang mengatur penempatan anggota keluarga. Masing-masing pasangan perkawinan hidup dalam bilik-bilik yang dibatasi oleh „lanjar’ yang ada dirumah gadang itu.
Pola kebersamaan dituangkan dalam pepatah yang berbunyi : „Duduk seorang bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang. Apa maksudnya ? Ternyata falsafah ini mengandung makna yang dalam, yaitu ketiku kita hidup menyendiri terasa dunia ini sempit, karena tidak ada orang yang datang menolong atau orang yang diajak berunding, bekerjasama, atau datang membantu. Lain halnya jika hidup bersama-sama, maka tiada kesulitan yang tidak dapat diatasi, sehingga dunia teras lapang.
Arti kebersamaan berbeda dengan arti persatuan, karena sama dan bersama dihimpun dalam suatu ikatan bulat untuk mejadi satu. Dalam menetapkan kesepakatan dalam hal perbedaan, maka diperlukanlah suatu kesesuaian yang dikenal dengan „seiya sekata

7. Seiya Sekata :
Arti seiya adalah ber .. ya..ya.. Pasangannya adalah bertidak – tidak atau ber bukan- bukan. Arti sekata adalah kebulatan kata. Seiya dan sekata mengandung arti, bahwa apabila semua individu telah menentukan kesepakatan dan kebulatan kata, maka secara sungguh-sungguh harus melaksanakannya. Bukan asal mufakat, bukan meng –iya-iya saja atau mengikuti hirarkhi dalam pengambilan keputusan. Petuah alam telah menguraikan bahwa dalam suatu kelompok hirarkhi dalam pengambilan keputusan ditetapkan sebagai berikut : „ kemenakan beraja ke mamak. Mamak beraja ke penghulu. Penghulu beraja ke mufakat. Mufakat ber raja ke alur dan patut“. Mufakat merupakan kebulatan pendapat yang diperoleh dari hasil seiya sekata tadi, sebagaimana pepatah yang berbunyi ; „ Bulat air karena buluh (bambu). Bulat kata karena mufakat“.
Dalam pengertian sosial, maka seiya sekata menunjukkan kesejajaran manusia dan individu dalam menetapkan suatu masalah. Dengan dilandasi kesamaan dan kebersamaan, maka seiya dan sekata merupakan kebultan kata yang melahirkan mufakat. Dari pandangan demokratisasi, tidak selamanya mufakat adalah hasil dari kebulatan kata. Dapat juga berasal dari perbedaan pendapat, yang dinyatakan seperti dalam kehidupan sehari-hari, yaitu ; „bersilang kayu dalam tungku, disana nasi akan masak“. Maksudnya ? Api barulah akan berkobar dalam tungku, apabila kayu diletakkan saling bersilangan. Nasi yang dimasakpun akan cepat matang.
Dengan demikian suatu permusyawaratan dan permufakat yang berasal dari kebulatan kata itu iperlukan pula pikiran yang berbeda, agar masalah dapat diselesaikan secara bersama-sama.
TamaT.

Sumber :

http://hyvny.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar